Jejak Stasiun Pengisian Bahan Bakar di Indonesia: Dari Pertamina hingga yang Telah Tiada
Jakarta, 5 Maret 2025 – Belakangan ini sangat viral kasus korupsi di Pertamina, hal ini membuat masyarakat berbondong-bondong untuk pindah SPBU (pom bensin) langganan ke merk lain. Dikutip jendelaberita, salah satu yang mendapat 'durian runtuh' adalah Shell, terlihat antrian mobil dan motor yang sangat panjang di SPBU Shell.
Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagai negara dengan jumlah kendaraan bermotor yang terus bertambah, kehadiran SPBU tidak hanya memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak (BBM), tetapi juga mencerminkan dinamika pasar energi nasional. Selain Pertamina sebagai pemain utama, sejumlah merek internasional seperti BP, Shell, Vivo, Petronas, dan Total pernah mencoba peruntungan di sektor ritel BBM Indonesia. Namun, tidak semuanya mampu bertahan. Berikut adalah kilas balik perjalanan SPBU di Indonesia.
Pertamina: Dominasi yang Tak Terbantahkan
Pertamina, sebagai perusahaan BUMN, telah lama menjadi tulang punggung penyediaan BBM di Indonesia. Didirikan pada 10 Desember 1957, Pertamina menguasai lebih dari 90% pasar ritel BBM nasional hingga saat ini. Dengan ribuan SPBU yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, Pertamina menawarkan berbagai jenis BBM seperti Premium (RON 88), Pertalite (RON 90), Pertamax (RON 92), hingga Pertamax Turbo (RON 98), serta varian diesel seperti Solar dan Pertamina Dex. Keunggulan Pertamina terletak pada jaringan distribusi yang luas dan dukungan regulasi pemerintah, termasuk kebijakan subsidi BBM yang membuat harganya kompetitif.
Shell: Pelopor SPBU Asing di Indonesia
Shell menjadi perusahaan asing pertama yang membuka SPBU di Indonesia pada 1 November 2005, berlokasi di Lippo Karawaci, Tangerang. Berbasis di Belanda, Shell mengimpor BBM berkualitas tinggi dari Singapura dengan standar emisi Euro yang lebih baik. Produk andalannya meliputi Shell Super (RON 92), Shell V-Power (RON 95), dan Shell V-Power Nitro+ (RON 98). Hingga kini, Shell memiliki lebih dari 100 SPBU, terutama di wilayah Jabodetabek, Jawa Barat, dan Banten. Meski sempat dikabarkan akan menutup operasinya pada 2024, Shell tetap bertahan dengan strategi fokus pada kualitas bahan bakar dan fasilitas tambahan seperti minimarket Circle K.
BP: Ekspansi Melalui Kemitraan
British Petroleum (BP) memasuki pasar ritel BBM Indonesia melalui kemitraan dengan PT AKR Corporindo pada 5 April 2017, membentuk PT Aneka Petroindo Raya (BP-AKR). SPBU pertama BP dibuka pada 14 Februari 2019 di Jakarta Pusat. BP menawarkan produk seperti BP 90, BP 92, BP 95, dan diesel berkualitas tinggi. Dengan lebih dari 20 SPBU yang tersebar di Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan Jawa Timur, BP mengusung konsep “one stop solution” dengan fasilitas seperti kafe dan pusat perbelanjaan. BP terus ekspansi meski menghadapi persaingan ketat dari Pertamina.
Vivo: Pendatang Baru yang Berani
Vivo Energy Indonesia, anak perusahaan Vitol Group dari Swiss, memulai debutnya pada 26 Oktober 2017 dengan SPBU pertama di Cilangkap, Jakarta Timur. Vivo menawarkan tiga jenis BBM: Revvo 89, Revvo 90, dan Revvo 92, dengan harga yang kerap lebih murah dibandingkan Pertamina. Kehadiran Vivo sempat menjadi perbincangan saat kenaikan harga BBM pada 2022, karena Revvo 89 dijual di bawah harga Pertalite. Meski jumlah SPBU-nya masih terbatas, Vivo terus bertahan dengan strategi harga kompetitif dan fasilitas dasar seperti toilet dan musala.
Petronas: Tutup karena Regulasi
Petronas, perusahaan migas asal Malaysia, pernah mencoba peruntungan di Indonesia pada awal 2000-an. Namun, bisnis SPBU Petronas berakhir pada 2012. Penutupan ini disebabkan oleh ketidaksediaan Petronas untuk mematuhi regulasi pemerintah yang mewajibkan pembelian minyak mentah produksi dalam negeri. Akibatnya, Petronas memilih mundur dari pasar ritel BBM Indonesia, meninggalkan jejak singkat di beberapa kota besar.
Total: Hengkang di Tengah Persaingan
Total, perusahaan energi asal Prancis, juga pernah beroperasi di Indonesia sejak 2005, bersamaan dengan masuknya Shell. Total menawarkan BBM berkualitas tinggi, namun menghadapi kesulitan bersaing dengan dominasi Pertamina dan harga yang lebih terjangkau. Pada akhir 2020, Total resmi menutup seluruh SPBU-nya di Indonesia. Keputusan ini menyusul strategi global Total untuk beralih ke energi terbarukan, serta tantangan pasar lokal yang didominasi pemain besar.
Pemain Lain yang Telah Tiada
Selain Petronas dan Total, ada beberapa merek lain yang pernah hadir namun kini lenyap dari pasar Indonesia. Contohnya adalah ExxonMobil, yang bekerja sama dengan Salim Group melalui PT Indomobil Prima Energi untuk mengembangkan SPBU mini (microsite) sejak 2018. Fokusnya adalah menjangkau daerah terpencil, tetapi proyek ini tidak berkembang signifikan dan akhirnya meredup. Selain itu, ada pula SPBU lokal kecil atau merek independen yang pernah eksis sebelum liberalisasi sektor migas pada 2001, namun banyak yang gulung tikar akibat persaingan dan perubahan regulasi.
Tantangan dan Masa Depan SPBU di Indonesia
Liberalisasi sektor migas melalui UU No. 22/2001 membuka pintu bagi perusahaan asing, tetapi dominasi Pertamina tetap sulit ditandingi. Regulasi seperti kewajiban membeli minyak mentah lokal, kebijakan harga yang diatur pemerintah, dan infrastruktur distribusi yang terkonsentrasi di tangan Pertamina menjadi hambatan besar bagi pemain swasta. Di sisi lain, meningkatnya kesadaran akan energi ramah lingkungan mendorong inovasi, seperti rencana peluncuran BBM berstandar Euro IV atau bahkan transisi ke stasiun pengisian kendaraan listrik.
Dari Pertamina yang kokoh, Shell yang bertahan, BP dan Vivo yang terus berkembang, hingga Petronas dan Total yang hengkang, perjalanan SPBU di Indonesia mencerminkan kompleksitas pasar energi. Siapa lagi yang akan bertahan atau muncul di masa depan? Hanya waktu yang bisa menjawab.